sorotnasional.com
M.S. Pelu GB
Kabupaten Buru, Maluku – Kunjungan kerja yang sarat makna dari Bupati Kabupaten Buru, Provinsi Maluku, Ikram Umasugi, S.E., beserta rombongan ke Baubau, Pulau Buton, telah menjelma menjadi sebuah ziarah sejarah dan pengakuan jati diri yang mengharukan.
Melangkah di gerbang megah Benteng Keraton Kesultanan Buton, rombongan memulai perjalanan batin dengan menziarahi Makam Sultan Murhum dan Batu Wolio/Batu YI Gandangi, seolah merajut kembali benang kusut sejarah yang terentang melintasi lautan.
Setiap jejak di Lelemangura, setiap doa di Masjid Agung Keraton Buton, dan sentuhan pada Batu Popaua, adalah sumpah sunyi akan keagungan masa lampau yang mereka bawa dari timur.
Puncak perjalanan emosional ini terjadi saat Bupati Ikram Umasugi tiba di Istana Sultan Buton, Kamali Baadia. Disambut dengan Tarian Mangaru yang gagah perkasa dan penghormatan tulus dari perangkat kesultanan, suasana berubah sakral.
Setelah tradisi penyambutan dan perkenalan rombongan, udara di Kamali Baadia terasa menahan napas.
Bupati Ikram Umasugi mulai merangkai kisah pertautan sejarah, tentang ikatan darah antara Ternate, Buru, Sula, dan Buton – empat negeri yang terikat dalam janji leluhur yang tak terpisahkan.
Di hadapan Yang Mulia Sultan Buton dan seluruh perangkat adat, sebuah pengakuan heroik meluncur dari bibir beliau. Dengan suara yang bergetar penuh haru, Bupati Buru menyatakan:
“Saya adalah bagian orang tanah Wolio.”kata Bupati Ikram Umasugi.
Kalimat itu bukan sekadar pernyataan, melainkan sebuah proklamasi spiritual, menegaskan kembali darah Buton yang mengalir deras dalam nadinya.
Bupati Ikram Umasugi lantas membuktikan klaimnya dengan menyebutkan tiga nama moyang yang mendalam akarnya di tempat itu: Ode Sirilau, Ode Yahuman, dan Imam Safiau. Nama-nama Ode yang hanya ada di tanah suci Wolio, “tegasnya.
Kisah tentang marga Umasugi yang terbagi dua di Sula—antara Umasugi Jawa dan Umasugi Buton—menjadi penekanan pamungkas, dan saya adalah Umasugi Buton,” tegas Bupati Ikram Umasugi menutup keraguan dengan kepastian yang menghujam.
Maksud kedatangan saya ini, bukan lagi sekadar kunjungan kerja seorang pejabat tinggi, melainkan sebuah kepulangan sang anak hilang.
“Saya adalah anak Buton sendiri yang barangkali ‘hilang’ dan kini pulang,” ucapnya dengan nada penuh kerinduan yang mendalam.
Kunjungan ini ditutup dengan untaian kata-kata yang menyentuh sanubari, sebuah pernyataan cinta tak bertepi kepada leluhur.
Dengan penuh simpati dan rasa hormat, Bupati Ikram Umasugi menyampaikan bahwa, saya kini kembali menjejakkan kaki di tanah Wolio, tanah barakati, tempat suci di mana darah para pendahulu tumpah dan mengalir.
Dan sebuah pulang yang bukan hanya meresmikan hubungan diplomatik antar daerah, namun saya juga merevitalisasi ikatan darah dan budaya yang melintasi generasi, menguatkan kembali semangat persatuan nusantara yang berakar pada kearifan lokal, “tutupnya.










